EBOOK - Ilusi Demokrasi oles zaim saidi

   

    Buku ini membicarakan dua hal yang merupaka
dua sisi dari poin yang sama. Pertama, tentang kritik Islam atas sistem  kehidupan modern, yaitu kapitalisme dan mesin kekuasaan yang mendukungnya.
Negara fiskal dengan sistem
demokrasinya. Kedua, tentang upaya sebagian umat Islam di Cape
Town, Afrika Selatan, untuk merestorasi cara hidup Islami sebagai
jalan keluar atas pesoalan yang ditimbulkan oleh modernitas, dengan
menerapkan kembali syariah. Model yang mereka tempuh adalah
teladan ’amal Madinah, yakni perilaku penduduk Madinah, dari
tiga generasi pertama Islam.

Keterangan di atas sekaligus menjelaskan pemilihan judul
buku ini, yaitu Ilusi Demokrasi Sebuah Kritik Islam. Sub-judul
yang melengkapinya adalah Menyongsong Kembalinya Tata
Pemerintahan Islam Menurut ‘Amal Madinah: Pengalaman Kaum
Muslim Cape Town, Afrika Selatan. Buku ini ditulis berdasarkan
pengamatan dan penelitian yang penulis lakukan selama bermukim
di Cape Town, Propinsi Western Cape, Afrika Selatan, antara
Agustus 2005-Mei 2006. Penulisannnya sendiri, setelah dilengkapi
dengan berbagai informasi tambahan, penulis selesaikan pada akhir
Agustus 2006.
Selain dari studi kepustakaan, bahan-bahan penulisan diperoleh
melalui riset internet, dan wawancara dengan beberapa nara sumber
setempat. Refleksi juga dilakukan berdasarkan pengalaman langsung
penulis dalam kegiatan sehari-hari. Kegiatan ini beragam seperti
salat Jum’at, terawih di bulan Ramadhan, wirid dan pengajian, ziarah
kubur, kunjungan silaturahmi, kegiatan orang tua murid di sekolah,
serta peringatan hari-hari besar keislaman seperti Maulud Nabi
Muhamad, hari raya Idul Fitri serta Idul Adha.
Pintu masuk penerapan syariah oleh Muslimin Cape Town adalah
penegakkan kembali rukun zakat. Topik ini bukan saja sangat
penting tetapi juga menarik untuk diketahui karena dua alasan.

• Pertama, zakat merupakan ibadah wajib yang menjadi
bagian dari Rukun Islam, tetapi pengelolaan zakat saat
ini di belahan bumi mana pun praktis dilaksanakan
dengan cara modern yang tidak menuruti syariah. Implikasinya
adalah, tanpa zakat, tentu saja tidak ada Islam.

• Kedua, upaya restorasi ini justru dilakukan di Afrika
Selatan yang umat Islamnya merupakan minoritas.
Sebagaimana akan diperlihatkan di dalam
keseluruhan buku ini, kaum Muslim di Afrika Selatan,
meski minoritas, sangatlah dinamis. Mereka menempati
posisi yang semakin penting dalam proses
perubahan sosial di negara yang masih penuh luka
akibat politik Apartheid di masa lampau tersebut.

Khusus bagi umat Islam Indonesia ada alasan tambahan mengapa
kajian dalam buku ini penting, yaitu hubungan historis antara
umat Islam di Afrika Selatan, khususnya Cape Town, dan umat
Islam di Indonesia. Walaupun hubungan ini sangat dekat informasi
tentang mereka yang sampai di Indonesia sejauh ini sangatlah
sedikit. Hubungan ini sangat dekat karena pertalian darah langsung
antara umat Islam Indonesia dan mereka, setidaknya sebagian.
Berbeda dari tempat lain di Afrika, pada awalnya Islam datang ke
Afrika Selatan memang bukan dari tanah Arab tapi dari Ternate
dan Makassar - di samping kemudian dari India. Persaudaraan
sedarah ini sudah terlalu lama dilupakan dan karenanya perlu
kembali dirajut.
Di benua Afrika sendiri secara keseluruhan kaum Muslim merupakan
kelompok mayoritas meski tidak terlalu dominan. Pada akhir 2005
jumlah kaum Muslim di “Benua Hitam” ini diperkirakan mencapai
angka sekitar 60% dari penduduknya. Agama Islam sendiri telah
diperkenalkan di daratan Afrika sejak awal pertumbuhannya. Ini
terjadi ketika Nabi Muhammad salallahu’alaihi wassalam ()
mengirimkan delegasi kepada Raja Negus, di Ethiopia, pada 615
M, beberapa tahun sebelum hijrah ke Madinah (622 M). Dalam
beberapa tahun sepeninggal Nabi Muhammad  (632 M), di
bawah Khulafaurrasyidin (632-661 M), Islam secara nyata mulai
berkembang di Afrika.
Pengislaman tersebut diawali di Mesir, setelah melewati kawasan
Timur Tengah lainnya seperti Syria, Iraq dan Palestina. Puncak
perkembangan Islam di Afrika berlangsung selama beberapa dekade
kemudian, terutama di masa-masa kepemimpinan Bani Umayah
(661-750 M). Ketika itu Islam menyebar ke wilayah-wilayah
Tunisia, Aljazair, Maroko, lalu ke Spanyol di daratan Eropa.
Selanjutnya Islam terus menyebar ke wilayah lain di bagian barat
Afrika, ke Sudan, Ghana, Mauritania, Mali dan sebagainya. Dua
otoritas Islam lain yang pernah memimpin Afrika adalah Bani
Safawid dan Mamluk. Jauh di kemudian hari, dalam skala yang
lebih kecil, Islam juga memasuki wilayah Afrika Timur dan Selatan.
Kali ini melalui jalur perdagangan dan politik: lewat kedatangan
para tahanan politik dari Nusantara, serta para pedagang dari Arab
dan India.
Tetapi dalam waktu yang relatif cukup lama, sejak abad ke-17, dan
terutama selama abad ke-19 dan ke-20, agama Islam di wilayah
Afrika Barat dan Utara ini - dengan beberapa wilayah pentingnya,
antara lain, Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, Sudan, Lybia dan Mali
- seolah berhenti berkembang. Bahkan Islam mengalami kemunduran
akibat kolonialisme Barat1. Mesir dijajah secara bergantian oleh
Perancis dan Inggris. Maroko, Aljazair dan Tunisia dikuasai oleh
Perancis. Lybia di bawah kekuasaan Italia. Somalia sebagian di
bawah kekuasaan Inggris, sebagian di tangan Italia. Sementara
itu, sebaliknya, di wilayah Afrika Timur dan Selatan, agama Kristen
tampak lebih berkembang dibandingkan dengan Islam, juga karena
pengaruh kolonialisme. Memasuki abad ke-21 Afrika kembali
menjadi salah satu pusat perkembangan Islam, terutama di bagian
selatan. Jumlah kaum Muslim terus tumbuh, bukan secara alamiah
karena kelahiran, melainkan karena banyaknya pemeluk baru. Ada
yang menyebutkan tingkat pertumbuhan kaum muslim di Afrika,
khususnya di Selatan Sahara, dalam beberapa tahun terakhir ini,
bahkan sampai angka 50-60%, hingga jumlahnya mencapai 160
juta orang (Latif, 2005).
Buku ini hanya terfokus kepada kaum Muslim Afrika Selatan.
Ciri utama yang ingin diperlihatkan tentang umat Islam di sini
adalah pengalaman sejarah mereka dalam proses ’modernisasi
dan kebangkitan Islam’. Modernisasi Islam di Afrika Selatan
telah mencapai puncaknya dengan telah diislamisasinya berbagai
institusi politik, sosial dan ekonomi modern, dengan label-label
’Islam’ di belakangnya. Namun, di tengah situasi seperti ini ada
sebagian kaum Muslim lain yang mengupayakan penerapan kembali
Islam sebagai tradisi ’amal. Islam dipraktikan dengan mengikuti
syariah, tanpa memperbaruinya, atau menuruti model mutakhir dan
mengadopsi institusi-institusi modern. Fokus penegakkan syariah di Cape Town ini adalah restorasi rukun zakat. Tetapi, restorasi rukun zakat ini juga membawa implikasi restorasi beberapa aspek syariah lainnya. Beberapa aspek syariah yang ikut terestorasi ini terutama adalah dalam tata pemerintahan,aspek keuangan dan muamalat, serta pengelolaan masjid.

selengkapnya tentang buku ini bisda di download disini

This Is The Newest Post